Pages

Saturday, April 7, 2012

Dear wifey - Hari ketika Michiko Wafat

Dear wifey,

Berikut sebuah cerita yang semoga cukup panjang dan tak membosankan. Maafkan hubby terlambat untuk email hari ini. Ditulis saat menunggu antrian dokter.

Kemarin hujan turun hampir seharian di Jonggol, bahkan hingga pagi tadi. Seperti langit, hujan pun sering membawa suasana melankolis.

Seperti wifey tahu Jonggol adalah daerah metropolitan. Calon ibukota negara! Namun saat hujan semuanya akan jadi becek berlumpur. Masih selalu teringat masa-masa semester akhir kuliah hingga sebelum kos saat kerja di NFS. Setiap hari aku pulang pergi Jonggol Jakarta naik motor. Saat terik badan akan sangat berkeringat hingga baju basah saat sampai kantor atau kampus. Namun saat hujan, tak sekali dua kali baju akan terembes air hujan yang menembus matel.

Ada sebuah cerita lucu menarik mengenai motor dan hujan. Setelah beberapa bulan pertama aku bekerja, aku menabung sedikit uang gaji sisa dari memberi mama. Setelah beberapa bulan terkumpul uang sekitar 5 juta. Waktu itu aku masih kerja di kantor pertama.

Dengan sangat sumringah aku membeli sebuah hp yang aku idam-idamkan secara tunai. Pada waktu itu aku belum kenal kartu kredit. Aku membeli Nokia 5800. Hp yang sangat canggih pada masanya. Layar besar, touch screen, wifi dan gps. Betapa bahagianya aq pada waktu itu.

Jika tak salah ingat saking cintanya aku memberi nama pada hp itu. Jika tak salah namanya Michiko San. Pada waktu itu aku masih tergila-gila ingin ke Jepang. Oh ya bisa wifey tebak warnanya? Merah!!

Michiko menemani aku siang dan malam. Saat di jalan, saat di rumah, saat di kantor. Bahkan Michiko yang selalu aku cari saat menjelang tidur. Juga yang aku cari saat pertama membuka mata. Michiko adalah separuh hidupku pada waktu itu.

Kembali ke masalah hujan. Saat sedang musimnya, hujan bisa turun setiap hari. Adakalanya aku disiram hujan 15 hari dalam sebulan saat bolak-balik kantor.

Suatu hari saat berangkat kantor aku lupa membawa jas hujan. Naas saat pulang langit mendung dan sangat gelap. Berdoa hujan tak turun aku ngebut pulang ke arah Jonggol. Pada waktu itu aku berkantor di Kalibata di sebuah ruko tua yang sangat horor. Sekarang ruko tersebut terkubur di bawah jalan layang kalibata.

Kalibata Jonggol dan sebaliknya biasa aku tempuh dalam waktu 90 menit ngebut. Sekeluar dari kantor aku ngebut berlari dari awan hitam. Dar kalkbata biasa aku ke arah taman mini, cilangkap, kranggan, cibubur, cileungsi dan jonggol. Lupakan masalah lokasi dan nama tempatnya yang pasti perjalanannya jauh sekali. Kalau sekarang jangankan setiap hari, seminggu sekali pun aku ga akan sanggup.

Lanjut lagi ke cerita perjalanannya. Setelah kira-kira pertengahan jalan menuju Jonggol, akhirnya aku kalah oleh awan hitam. Sebelumnya aku masih berusaha kabur meski dihajar hujan rintik-rintik. Hujan turun dengan amat dasyatnya menghentikan lari aku. Aku berteduh di sebuah kedai nasi goreng bersama beberapa pemotor lain. Tempat berteduhnya sayangnya kurang nyaman. Masih banyak cipratan-cipratan yang menerpa aku dari langit-langit terpal yang bocor. Ada sebuah kisah emosional pada masa-masa awal aku kerja. Gaji aku sebulan adalah 2.500.000. Namun aku berhasil mengatur pengeluaran hanya maksimal 500.000 dalam sebulan. Sehingga dari 2 juta sebagian bisa aku beri ke mama lalu sedikit sisanya bisa aku tabung. Bagaimana bisa mengatur pengeluaran seperti itu? Adalah dengan hampir tidak jajan atau jajan hanya sekali makan siang saja. Aku masih ingat dalam 4 atau 5 bulan aku bekerja kombinasi makan siang aku adalah ketoprak dan gado-gado yang mana itu sebenarnya masih satu famili makanan.

Kembali ke masalah berteduh. Saat itu aku merasa ingin sekali nasi goreng. Hujan turun deras dan baju dan celana pun lembab karena hujan. Namun aku harus benar-benar menekan rasa ingin makan pada waktu itu karena aku ingin menabung. Aku juga merasa dalam sekitar satu jam aku mungkin akan sampai di rumah dan bisa makan di saja. Apalagi waktu itu aku baru saja mengeluarkan uang besar untuk membeli Michiko. Mungkin wifey akan menilai aku sebagai orang yang bodoh dan menyiksa diri. Namun entah bagaimana, mungkin itu sebuah prinsip yang akan dipegang seseorang yang harus kerja keras untuk kuliahnya karena tak punya ayah dan tak terlalu pintar untuk mendapat beasiswa. ;). Jangan salah paham sayang, itu bukan statement kufur nikmat. Aku selalu berusaha menjadi orang yang bersyukur.

Pada akhirnya segala prinsip berhemat tadi rontok juga karena aku berteduh hingga satu jam dan hujan tak kunjung reda. Aku melahap nasi goreng dengan sedikit perasaan bersalah. Namun nasi goreng itu enak sekali rasanya.

Setelah makan nasi goreng intensitas hujan agak berkurang. Aku memutuskan untuk lanjut naik motor. Baru jalan sekitar 200 meter, hujan menderas lagi dengan lebih dahsyat. Aku minggir di pom bensin. Aku lama sekali berteduh di pom bensin. Hampir 2 jam mungkin. Aku menyempatkan shalat juga dengan baju yang semakin basah. Salah satu petikan terkenan di kalangan pemotor adalah jika hujan lebih baik jalan terus saja. Sebab berteduh pun akhirnya basah-basah juga. Petikan itu terjadi pada aku. Setelah tak tahan menunggu aku akhirnya memutuskan jalan juga meski hujan masih berderai-derai.

Hari itu adalah hari di mana aku melakukan sebuah kebodohan monumental yang tak terlupakan. Entah karena kecapean atau otak sudah lembap karena kebasahan, sebelum naik motor aku ingin sekali mendengar musik di jalan. Padahal jelas-jelas hujan sangat deras dan aku tak pakai jas hujan, hanya memakai jaket tipis dan sebuah rompi angin. Tapi logika bodoh aku.mengatakan selipkan saja Michiko di balik rompi angin. Pasti aman. :p Toh klo pun kebasahan pasti ketahuan sebab aku mendengar musik. Musiknya pasti mati.

Akhirnya aku jalan sambil mendengar radio. Hujan masih deras saja. Dilematika pemotor berhelm saat hujan adalah jika kaca helm ditutup, jalan hampir tak terlihat. Namun jika kaca dibuka mata akan sakit ditusuk-tusuk air hujan. Terpaksa aku pilih membuka helm meski muka harus basah kuyup.

Setelah sekitar satu jam diguyur hujan dan menembus banjir aku pun sampai di rumah. Ternyata radio.masih menyala dengan nyaring dari earphone. Jadi tak mengapa mendengar radio sambil hujan-hujanan. Aku langsung buka jaket dan menaruh hp. Hp hanya sedikit basah di pinggirannya. Saat aku taruh di meja tiba-tiba hp bergetar-getar. Belakangan aku tahu, Michiko sakratul maut. Jadi sepanjang jalan tadi dia berusaha bertahan dari gempuran air yang merembes pelan ke sirkuit elektroniknya. Aku masih penasaran. Aku cabut baterai aku pasang lagi. Aku nyalakan tombol power. Tersengar suara konsleting dan bau hangus. Saat itu otak aku sepertinya juga konslet. Berulang kali aku coba hidupkan tombol power namun bau hangus semakin tajam. Belakangan aku baru tahu, jika hp kebasahan sebaiknya langsung lepas baterai dan kubur dalam beras sampai seminggu. Pada kebanyakan kasus hp akan sembuh.

Malam itu Michiko meninggal dunia. Usaha aku mengklaim garansi pun gagal. Mengguyur hp dalam hujan tidak masuk lingkup garansi. Akhirnya Michiko laku di kaskus seharga 500.000. Belakangan aku menyesal juga kenapa harus menjual dengan harga yang sangat murah.

Itulah sekelumit kisah tentang aku, Michiko dan hujan. Patah hatiku saat ditinggal mati benda yang kucinta paling tidak memberi sedikit hikmah. Untum lebih berhati-hati dan berpikir dalam saat bertindak. Setidaknya aku masih tersenyum saat mengingat cerita ini.

Tunggu aku di salah satu kota di Eropa di bulan September. Meski nanti hujan dan kita tak berpayung aku akan memastikan manaruh hp dalam plastik dan memayungi istriku dengan jaketku.

PS: I love u

No comments:

Post a Comment