Dear Bunda,
Life without risk is not fun. Terkadang suka berpikir juga, kenapa sih kita itu harus berlelah-lelah dalam mengejar sesuatu? Dengan hidup biasa saja pun seharusnya kita bisa bahagia. Punya pekerjaan biasa. Sekolah di sekolah biasa. Punya tingkat pendidikan yang standard saja. Menjalani rutinitas yang sama. Tetap nyaman di daerah nyaman. Tak perlu mengejar beasiswa. Tak perlu mencoba kerja di luar negeri. Tak perlu mencoba sesuatu yang baru. Tak perlu berjuang seperti mbak Tari dengan suaminya. Padahal jika mereka mau, mereka mungkin saja bisa hidup nyaman, tanpa PhD di Indonesia. Dengan hidup biasa saja mungkin kita bisa bahagia, namun monoton dan not fun.
Surat kali ini terinspirasi dari tulisan mas van adams. Mas Padang ini sedang ada di Jerman juga, di Duisburg tepatnya, kalo tak salah beliau temannya Dzata. Balik lagi ke cerita tadi, taking risk sometime needed to gain some progress in our life. Melanjutkan sekolah misalnya. Bagaimana tidak full of risk? Melanjutkan sekolah keluar negeri akan memiliki banyak konsekuensi yang tak mudah. Sekilas mungkin orang melihat bahwa sekolah di luar negeri itu menyenangkan. Bisa jalan-jalan dan seru-seruan. Tapi itu cuma sedikit sweet thing dari sekolah di luar. Padahal banyak konsekuensi lain yang justru butuh perjuangan keras. Jauh dari keluarga dan teman, harus belajar keras dan hidup dengan sedikit terbatas, karena uang beasiswa tidak selalu melimpah ruah dan jauh dari hal-hal yang kita nyaman di dalamnya seperti kultur, budaya dan makanan. Namun aku merasa itu semua adalah perjuangan mengambil sedikit resiko yang kelak akan memberikan banyak manfaat untuk diri kita sendiri di masa depan. Dulu bahkan teman-teman NFS sering geleng-geleng ketika aku sering kali menggebu-gebu cerita untuk bisa sekolah setinggi mungkin. "Gue mah udah capek belajar, Jon." Kata mereka. Menariknya, aku punya sosok inspirasional yang sangat dekat dengan diriku: istriku sendiri.
Jauh dari keluarga itu tak enak. Ini yang aku rasakan saat jauh dari istriku padahal baru dua bulan saja. Namun ini adalah konsekuensi untuk hal-hal yang lebih enak kelaknya. Justru dari kesempatan ini pula aku (semoga juga bunda) bisa belajar banyak hal. Belajar sabar, belajar untuk lebih saling memahami dan belajar lebih keras agar bisa dekat lagi dengan keluarga dengan cara menyusul bunda ke Jerman.
Konsekuensi kedua dalam taking risk in life dalam hal studi adalah harus belajar keras. Post graduate study tentunya beda dengan S1. Kuliah di Jerman dengan kualitas pendidikan yang top tentunya beda dengan kuliah S1 di universitas negeri yang standar. Perjuangannya pasti akan keras sekali. Aku sangat terbayang melihat dari yang sudah bunda jalani. Membuat paper, tugas yang bertumpuk, membaca materi, menyiapkan presentasi dan ujian yang menantang. Meski belum menjalani dan belum tahu rasa aslinya aku justru merasa itu semua akan menjadi paksaan yang positif. Terbiasa untuk belajar keras. Lebih disiplin. Lebih "terpaksa" untuk mau membaca. Full of risk namun akan menjadi fun untuk jangka panjang. Sense of fulfilment dan kesempatan untuk mengamalkan apa yang kita punya.
Jika menilik dari pertimbangan finansial, tentunya akan lebih menguntungkan untuk kerja dari pada kuliah. Dengan kerja barangkali kita bisa cepat menabung untuk membeli rumah. Dengan kuliah sepertinya tidak bisa terlalu banyak menabung karena itu tadi beasiswa uangnya tidak selalu melimpah. Namun di situ juga risknya. Bagaimana dengan resource yang terbatas tersebut kita "dipaksa" untuk belajar keras. Sehingga kelak di depan otomatis bisa punya karir yang lebih baik dalam berkarya. Menabungnya memang ditunda sedikit. Namun justru akan lebih baik dari pada menunda umur untuk sekolah lagi.
Terakhir konsekuensi yang tak enak dan harus benar-benar dipikirkan adalah masalah kultur, kebiasaan dan makanan. Sesampai Jonggol kemarin aku membabi buta makan banyak makanan. Mie ayam, bakso, sop buah, rendang, gorengan dan bahkan tahu gejrot. Makanan Indonesia memang tak ada matinya. Cukup terbayang nanti harus agak memendam rindu makanan saat jauh dari negara asal. Meski terlihat sepele ini juga full of risk. Di singapura ada beberapa teman-teman India aku yang punya masalah penceranaan karena makanan yang tak cocok. Bahkan aku sendiri pun pernah mual beberapa minggu karena masalah makanan juga. Masalah kultur juga harus dipertimbangkan. Mungkin kita akan kangen suara adzan. Kangen suasana kampung. Namun semua itu harus direlaka demi mengejar long term benefit dalam menuntut ilmu.
Seperti surat yang pernah aku tulis waktu itu, aku ingin sekolah sampai mentok. Ingin menulis buku suatu saat nanti (meski hingga detik ini belum ada wujud nyatanya). Aku juga ingin menjadi speaker yang inspirasional. Sehingga kelak, anak-anakku akan bangga dengan ayahnya dan istriku akan bangga dengan suaminya. Aku jadi ingat juga hari ketika pertama bunda memasang peta di kamar. Betapa bola matamu nampak terlihat sangat ceria. Aku ingin bisa keliling dunia bersamamu. S2 di Eropa dan S3 di Amerika mungkin? :) Untuk mencapai itu semua memang full of risk. But that gonna be so fun, especially if I can do that with you.
Bunda jemput aku di Frankfut ya beberapa hari sebelum Ramadhan tahun ini. Ingatkah kamu beberapa hari sebelum Ramadhan tahun lalu seorang pria asing yang sederhana menyatakan cinta. Pria itu semakin jatuh cinta padamu setiap harinya. Terima kasih sudah mengambil resiko untuk menerima cinta pria itu. Pria itu akan berusaha untuk memastikan resiko yang telah bunda ambil tidak akan sia-sia dan akan berbuah hal yang manis.
PS: I love you
No comments:
Post a Comment